Oleh Ramanda
Multaqomedia.com - Sultan Agung adalah Raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam dikala usianya masih 20 tahun diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahanda yang meninggal.
Beliau memimpin Kerajaan Mataram Islam dari kurun waktu 1613 M hingga 1645 M. Sultan Agung dikenal sebagai Raja yang memiliki beragam keahlian baik pada bidang militer, ekonomi, politik, budaya hingga spiritualitas yang matang.
Semasa kecilnya, Sultan Agung mempunyai nama asli Raden Mas Jatmiko akan tetapi lebih akrab di panggil dengan Raden Mas Rangsang terutama ketika beliau nyantrik (sekarang lebih dikenal sebagai santri) di Padepokan Jejeran yang di asuh oleh Ki Lurah Jejer.
- Baca Juga: Sarasehan Budaya dalam Rangka Tugas Ahir Mata Kuliah Sastra Lisan, IAI al-Qolam Menghadirkan PC Lesbumi NU
- Baca Juga: Halaqah Nasional Fiqih Peradaban PBNU di Pesantren Al-Islahiyah dibuka Di Sekitar Langgar Genteng Singosari
Bukti bahwasanya Sultan Agung seorang yang mempunyai keilmuan mendalam dalam hal agama adalah Gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarmi yang diberikan oleh ulama' dari Mekkah
Diera modern hari ini, biografi Sultan Agung bisa kita temukan melalui tulisan yang tersebar di media sosial hingga film berjudul Sultan Agung yang rilis tahun 2018 silam.
Sultan Agung meninggalkan berbagi keilmuan yang dapat kita pelajari salah satunya dari Serat Sastra Gendhing.
Serat adalah sebuah karya sastra asli dari Nusantara yang berisikan ajaran yang adiluhung.
- Baca Juga: Renungan HIdup: Keseimbangan Hidup, Kolaborasi Antara yang Muda dan Tua
- Baca Juga: Tak Terikat Oleh yang Terpikat
Serat Sastra Gendhing berisikan tentang hubungan manusia dengan Sang Ilahiah. Sastra disimbolkan sebagai Yang Ilahiah dan Gendhing sebagai simbol manusia dan kehidupan.
Dalam mencari ilmu sultan agung menuliskan pada salah satu baitnya, yakni pada bait Durma V/9 Mula ngelmi mulet partraping sarengat, mang arjaning dumadi, dadya pra manungsa, tinuduh mrih utama, utaming cipta pamuji.
Ilmu harus mengikuti aturan syariat, membawa keselamatan hidup, sehingga umat menjadi, terbimbing menuju keutamaan, keutamaan dalam beribadah.
Ditengah dunia pendidikan yang terbawa arus globalisasi dengan upaya pembaratan, sesekali kebelakang kembali menengok peninggalan para leluhur terutama yang berkaitan dengan keilmuan dirasa relevan hari ini guna meneguhkan kembali jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Kembali kebelakang bukanlah sebuah kemunduran melainkan sebuah upaya untuk melesat maju kedepan, bukankah kita tak akan maju jika tak mulai dari belakang.[]