Oleh Gus Abdul Aziz Syafi'i (Ketua PC Lesbumi Kab. Malang)
Para wali penyebar Islam di tanah Jawa sejatinya telah menanamkan nilai serta tatanan sosial dalam kultur masyarakat sejatinya sungguh luar biasa. Kita yang pada hari ini mengerti dan tahu tentang bahasa Jawa serta dalam hal pengungkapkannya dalam bahasa keseharian sejatinya adalah warisan para wali.
Tidak hanya berhenti sampai disini para wali juga menanamkan nilai tatanan sosial yang itu banyak kita temukan pada pada filsafat Jawa.
Baca Juga: Artikel Sambung Kyai Agus Sunyoto, Jejak Dakwah Islam Cina di Nusantara II
Banyak karya fenomenal para wali yang berupa serat serta manuskrip kuno dengan bahasa Jawa Kawi. Hal ini menunjukkan bahwa peranan para wali saat itu tidak hanya mengetengahkan tentang dakwah Islam (syariat dan fikih) semata, akan tetapi jauh lebih dari itu, para wali juga hadir dalam nilai estetika serta keindahan sastra dalam rangka menjaga serta melestarikan identitas Jawa itu dalam beberapa bentuk serat serta manuskrip kuno.
Seperti penyebutan permohonan maaf dengan kata "ngapunten, pangapunten" yang sejatinya itu adalah dari bahasa Arab "afuwwun, afwan, afwun" yang bermakna memohon maaf, memohon ampunan.
Maka sejatinya orang Jawa lebih dahulu berbahasa Arab sejak awal yang di adaptasikan oleh para wali dengan sentuhan estetika dan sastra, ketika hari ini abrasi atau gelombang seolah-olah ke araban, ataupun seperti sangat keislamian, kesyar'ian sedikit-sedikit lebelisasi syar'i di Nusantara ini sejatinya sudah bukan hal yang baru, seperti sedikit-sedikit menyapa saudaranya laki-laki dengan "akhi", kemudian menyapa saudari perempuannya dengan sebutan "ukhti" dan penyebutan lainnya, sejatinyalah orang Jawa lebih dahulu sudah sangat islami dengan identitas bahasa dan adat kesehariannya sampai saat ini.
Baca Juga: Refleksi Tahun Baru 2023: Sikap dan Nilai, Sebuah Kejujuran
Keterputusan informasi serta sumber menyebabkan kita hari ini tidak memiliki data serta informasi akurat, tentang peninggalan sastra para wali tersebut, sehingga melahirkan pemikiran serta tafsir seolah karya para wali yang berupa serat serta manuskrip kuno dengan bahasa Jawa Kawi dianggap peninggalan dari agama Hindu yang pada akhirnya keinginan ataupun ghirroh "semangat" menggali informasi dan data manuskrip para wali tersebut tidak memiliki ruang yang jelas, terstruktur serta terukur.
Tidak sedikit pula dari kalangan Islam sendiri yang enggan mempelajari serat serta manuskrip kuno peninggalan para wali tersebut karena masih beranggapan, peninggalan dari agama Hindu.
Baca Juga: Semboyan Ala Bisa Karena Terbiasa Ala Santri: Model Pembelajaran BSI di Era Kurikulum Merdeka
Sehingga riset, penelitian serta diskursus sangat minim diupayakan.
Belum lagi dampak imperialis era penjajahan di Nusantara yang sangat lama dan itu juga memberikan ruang dampak negatif terhadap perkembangan serta investarisir peninggalan sastra para wali, tidak sedikit manuskrip kuno peninggalan para wali yang di bawa, dicuri oleh imperialis.
Beberapa data dan aset informasi masih bisa di akses meskipun itu tidak banyak dan minim peminat yang mempelajarinya.
Baca Juga: Cerpen Ahmad Loel; Kunci di Pohon Nangger