Cerpen Taufiq Wr Hidayat : Jalan Keluar

- Senin, 26 Desember 2022 | 09:06 WIB
Gus Fiq Taufiq Wr Hidayat (Multaqomedia.com)
Gus Fiq Taufiq Wr Hidayat (Multaqomedia.com)

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat

Banyuwangi, Multaqomedia.com - Sahdan, seorang setengah baya yang cukup kaya, mencari seseorang yang bersedia menolongnya bunuh diri. Orang setengah baya itu bernama Tuan Badi.
Tuan Badi menderita, menghancurkan hati, keputusasaan yang fatal. Tapi ia tak butuh orang lain untuk mengetahui derita, ketidakbahagiaan jiwanya. Karena baginya, orang lain tak mungkin berempati atau mengentaskan deritanya. Tuan Badi hanya butuh orang lain untuk membantunya memperlancar skenario bunuh diri!

Tuan Badi akan bunuh diri dengan menelan pil tidur sebanyak-banyaknya. Orang lain hanya cukup memastikan dirinya mati, lalu mengubur. Tuan Badi akan menelan pil tidur pada malam hari dengan dosis yang gawat dalam sebuah lobang tanah yang sudah dipersiapkan di sebuah bukit. Orang lain diminta memastikan apakah dirinya sudah mati atau belum keesokan harinya. Kalau sudah mati, ia meminta orang lain tersebut segera menimbun lobang yang ditempati mayatnya dengan tanah. Untuk tugas itu, Tuan Badi bersedia membayar sejumlah uang yang dapat membuat seseorang cukup kaya.

Film garapan sutradara Iran yang legendaris, Abbas Kiarostami, ini seolah mempertanyakan doktrin iman menghadapi penderitaan manusia. Film berjudul "Ta'm-e guilass" atau "Taste of Cherry" (1997) mengangkat permenungan yang tak terjebak kecengengan, memantulkan humanisme kembali pada penontonnya, dengan kejeniusan cerita yang mengesankan dalam sinema.

Baca Juga: Cerpen Wit Kapuk

Tuan Badi bertemu seorang ahli agama, ia meminta si ahli agama itu membantunya bunuh diri dengan imbalan uang melimpah. Si ahli agama menolak, ia menasehati Tuan Badi, bunuh diri dikutuk Tuhan dalam teks suci, diancam neraka, bukan teladan orang suci.

Abbas Kiarostami menyindir tajam melalui tokoh Tuan Badi dalam filmnya pada kekakuan beragama di negerinya. Barangkali juga pada realitas hidup semua orang. Tuan Badi membantah si ahli agama yang menasehatinya dengan doktrin kitab suci. Bagi Tuan Badi, penderitaan dan ketidakbahagiaan hidupnya adalah miliknya sendiri.

Ia tak ingin menularkan derita pedih pada orang lain, mungkin saudara atau kawan. Sehingga dirinya memilih bunuh diri, mati membawa derita hidupnya. Jika dirinya tetap hidup, dirinya dapat menularkan derita pada orang lain. Menularkan derita diri sendiri serta bencana pada orang lain juga dosa besar yang akan membuatnya masuk neraka. Sehingga bagi Tuan Badi, ada dua pilihan: hidup menularkan derita dan bencana dari dirinya sendiri pada orang lain atau bunuh diri. Keduanya sama-sama neraka. Si ahli agama tak sanggup mematahkan alasan Tuan Badi.

Uniknya, justru Tuan Badi dapat menyerap kata-kata seorang tua bangka yang bukan ahli agama. Tua bangka itu bercerita, dirinya pernah akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri di pohon ceri. Ketika ia memanjat pohon untuk mengikat tali, ia menghirup harum buah ceri. Ia memakan buah ceri yang segar sekali.

Anak-anak sekolah lewat di bawah pohon, ia memetikkan buah-buah ceri itu buat mereka. Ia teringat istrinya. Ia memetik buah-buah ceri, membawanya pulang lalu memberikan buah-buah ceri yang harum itu pada sang istri. Si istri dapat menikmati buah-buah ranum itu. Ia lupa pada rencana bunuh dirinya.

CeBaca Juga: Kang Taufiq Wr Hidayat : Cerita Orang Dekat

Cukup ganjil, tapi sederhana! Sejatinya realitas bukan belaka perkara hidup dan mati. Keduanya keniscayaan tak terelakkan, yang tak perlu dipandang cengeng dan gawat. Lantaran setiap kebuntuan pasti tersedia jalan keluar, tinggal bagaimana ia menemukan jalan keluar yang memang sudah ada itu dengan kejernihan dan kesungguhan, kerja keras, dan tak berputus asa.

Dan apa arti seseorang dalam hidup sebelum dirinya mati, itu yang menjadi ukuran kenapa ia harus tetap hidup dan menghadapi segala persoalan di dalamnya. Hidup yang melimpah—baik harta atau pencapaian-pencapaian—cuma omong kosong jika tak dapat menikmati kelezatannya yang sejati. Kelezatan hidup yang sejati itu terletak pada setulus dan sebesar apa seseorang menjadi arti bagi orang lain, bagi hidup yang dijalani, diterima sebagai anugerah Tuhan padanya. Hidup—seindah atau sesedih apa pun—tak dapat direncanakan, apalagi diharapkan, manusia, begitu pula mati.

Pengertian menarik ini keluar dari lidah si tua bangka yang bukan ahli agama yang, dalam film "Taste of Cherry" itu, justru bersedia membantu seseorang melakukan rencana bunuh diri. Tapi ia tak menghalangi kehendak bunuh diri tokoh utama dalam film tersebut, pun tak mendorongnya. Ia hanya bercerita pengalamannya. Ia hanya menyampaikan pernah berada pada keadaan yang jauh lebih menyulitkan sebagai orang miskin dan dibebani banyak tanggungan hidup.

Halaman:

Editor: Ahmad Dahri

Tags

Terkini

Cerpen Ahmad Loel; Kunci di Pohon Nangger

Jumat, 30 Desember 2022 | 19:51 WIB

Cerpen Taufiq Wr Hidayat : Jalan Keluar

Senin, 26 Desember 2022 | 09:06 WIB

Cerpen Wit Kapuk

Rabu, 31 Agustus 2022 | 16:20 WIB

Harta dan Nilai Tukar, Kisah Refleksi Ketakterikatan

Selasa, 9 Agustus 2022 | 08:51 WIB

Cerpen Petak Umpet di Kebun Jeruk

Rabu, 13 Juli 2022 | 12:36 WIB

Cerpen Rumor

Senin, 11 Juli 2022 | 06:00 WIB
X