MULTAQOMEDIA.COM - Kebijakan dari Kementerian Keuangan, di bawah naungan Sri Mulyani kembali menyita perhatian warganet.
Kali ini mengenai adanya cukai kepada makanan ringan atau snack yang mengandung natrium.
Adanya isu soal pemberlakuan cukai alias pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu, kepada snack bernatrium hadir pada pertengahan Juli 2025.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI mengungkapkan, penambahan objek barang kena cukai baru ini adalah salah satu rekomendasi untuk ekspansi barang-barang kena cukai.
Tujuannya adalah untuk mencapai pendapatan negara yang maksimal, berkeadilan, dan mendukung perekonomian nasional.
Meskipun tujuan utamanya adalah mengoptimalkan pendapatan negara, langkah ini juga dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi natrium berlebih di masyarakat.
Pasalnya, konsumsi natrium yang tinggi dapat berkontribusi pada berbagai masalah kesehatan, seperti hipertensi dan penyakit jantung.
Cuplikan berita tersebut kemudian baru-baru ini hadir di akun Instagram, @tante.rempong.official, Selasa, 5 Agustus 2025.
Warganet berpandangan, jika kandungan dalam snack tersebut berbahaya, mengapa tidak sekaligus ditarik dari peredaran? Alih-alih melakukan hal itu, Kementerian Keuangan justru mengambil langkah untuk mengenakan cukai untuk bahan tersebut.
"Mengendalikan natrium, halus bener bahasanya," kata @agu****.
"Kenapa nggak ditarik aja bu? Itu kan makananan nggak sehat juga. Kenapa harus masuk kas negara? Nyari keuntungan aja nih kayaknya menteri," ucap cam****.
"Oksigen juga ya bu.. Untuk menstabilkan serta mengendalikan pernapasan," sahut @agun****
"Ada aja celahnya," timpal yang lain.
Selain soal penerapan cukai ke snack bernatrium, Sri Mulyani juga belum lama ini berencana memberlakukan pajak buat emas batangan.
Berdasarkan PMK 51/2025, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen akan dikenakan untuk pembelian emas batangan.
Namun, ada detail penting: tarif ini berlaku bagi bullion bank (Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bullion) yang telah memperoleh izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dengan adanya PPh Pasal 22 ini, diharapkan transparansi dalam transaksi emas batangan dapat meningkat, sekaligus menjadi salah satu instrumen untuk mengoptimalisasi pendapatan negara.
Ya, aturan tersebut mungkin bisa mengoptimalisasi pendapatan negara.
Namun bagaimana dengan rakyat? Jelas, sejumlah orang protes dengan aturan yang katanya mengoptimalisasi pendapatan negara.
"Uang pajak kita buat apa sih bu? Boleh nggak sih kalau dibuat perincian total? Sekalian dikontenin juga nggak apa-apa. Misalnya Rp 1 Miliar buat bikin WC," kata @raz****.
"Bentar lagi gue napas kena pajak," sahut @fuj****.
INFO! Sri Mulyani Bikin Aturan Baru, Kini Beli Emas Batangan Kena Pajak
MULTAQOMEDIA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani memberlakukan aturan baru pajak emas mulai Jumat (1/8) besok.
Aturan berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 52 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pajak Penghasilan dan/ Atau Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas dan/atau Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis yang Dilakukan Oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, dan/atau Pengusaha Emas Batangan.
Dalam aturan baru itu, Sri Mulyani memutuskan masyarakat tetap tak bakal dipungut pajak penghasilan (PPh) dalam transaksi emas.
Ini berlaku dalam penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan dari emas, batu permata dan/atau batu lainnya yang sejenis.
Penjualan barang-barang tersebut sebenarnya dipungut PPh Pasal 22, tapi dikecualikan untuk masyarakat.
"Pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) tidak dilakukan atas penjualan emas perhiasan atau emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) serta penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (2), oleh pengusaha emas perhiasan dan/atau pengusaha emas batangan kepada: a. Konsumen akhir," tulis Pasal 5 Ayat (1) beleid tersebut, dikutip Kamis (31/7).
Pengecualian ini sesuai dengan aturan lama yang tertuang dalam PMK Nomor 48 Tahun 2023.
Ada 2 pihak lain juga yang dibebaskan dari pungutan PPh.
Keduanya adalah wajib pajak yang dikenai PPh final atas penghasilan usahanya atau memiliki peredaran bruto tertentu yang sudah dikonfirmasi kebenarannya oleh Ditjen Pajak serta wajib pajak yang punya surat keterangan bebas pemungutan PPh Pasal 22.
Sementara itu, inti dari beleid baru yang diterbitkan Sri Mulyani adalah membebaskan PPh dari penjualan yang dilakukan pengusaha emas kepada bullion bank.
Ini dituangkan dalam Pasal 5 Ayat (2) huruf c.
"Pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) juga tidak dilakukan atas penjualan emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf b, oleh pengusaha emas perhiasan dan/atau pengusaha emas batangan: kepada lembaga jasa keuangan penyelenggara kegiatan usaha bulion yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan," jelas pasal tersebut.
Pasal 5 Ayat (2) huruf a dan b tetap tak berubah.
Sang Bendahara Negara masih mengecualikan PPh dari transaksi emas kepada Bank Indonesia (BI) serta pasar fisik emas digital sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi.
Tidak ada perubahan tarif PPh emas dalam beleid anyar yang diteken pada 25 Juli 2025 itu.
Besarannya tetap mengikuti aturan lama dalam PMK Nomor 48 Tahun 2023, yakni 0,25 persen dari harga jual emas.
Respons Publik
"Uang pajak kita buat apa sih bu? Boleh nggak sih kalau dibuat perincian total? Sekalian dikontenin juga nggak apa-apa. Misalnya Rp 1 Miliar buat bikin WC," kata @raz****.
"Bentar lagi gue napas kena pajak," sahut @fuj****.
"Kerja nggak dicariin negara. ketika kalian dapat kerja dan menghasilkan uang, dipajakin negara. Mau makan kena pajak, belanja kena pajak. Seru banget tinggal di negeri ini," ucap @dar****.
"Gua kata juga apa, ada aja gebrakannya setiap hari," ucap @its**** dengan satire.
Sri Mulyani Akhirnya Buka Suara soal Pajak Pedagang Toko Online
Pemerintah resmi menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Ini artinya, marketplace atau toko online seperti Tokopedia, Shopee, Blibli dan Lazada berhak memungut pajak para pedagang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun buka suara menjelaskan kebijakan itu.
Menurut Sri Mulyani kebijakan ini untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi perpajakan bagi pelaku usaha online.
"Pemerintah melakukan penunjukan penyelenggara PMSE sebagai pihak pemungut PPh pasal 22. Ini untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan administrasi perpajakan bagi pelaku usaha daring," katanya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Gedung Pacific Century Place, Jakarta, Senin (28/7/2025).
Selain itu menurut Sri Mulyani kebijakan ini bukan tambahan kewajiban pajak baru bagi pedagang online.
Ketentuan ini hanya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.
"Saya ulangi lagi, tanpa ada tambahan kewajiban baru. Jadi ini lebih memfasilitasi secara administrasi, tidak ada kewajiban baru," tegas Sri Mulyani.
Di sisi lain Sri Mulyani juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 Tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut, Penyetor dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme PMSE.
Kriteria pedagang dalam negeri yang dipungut PPh nya oleh e-commerce itu baik berupa orang pribadi atau badan yang atau rekening keuangan sejenis dan bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon Negara Indonesia.
Termasuk Pedagang Dalam Negeri yaitu perusahaan jasa pengiriman atau ekspedisi, perusahaan asuransi dan pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa melalui PMSE.
Dalam hal Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp 500 juta, harus menyampaikan informasi NPWP atau NIK-nya, serta alamat korespondensi.
Selain itu, Pedagang Dalam Negeri juga harus menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp 500 juta bagi Wajib Pajak orang pribadi.
Informasi lainnya yang harus disampaikan ialah menerima atau memperoleh penghasilan dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Dalam hal Pedagang Dalam Negeri telah memiliki Peredaran Bruto melebihi Rp 500 juta, Pedagang Dalam Negeri harus menyampaikan informasi kepada Pihak Lain berupa surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan melebihi Rp 500 juta.
"Surat pernyataan harus disampaikan paling lambat akhir bulan saat Peredaran Bruto melebihi Rp 500.000.000," sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 PMK itu.
Besarnya pungutan PPh 22 sebesar 0,5% dari Peredaran Bruto yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Luhut Akui Proyek Whoosh Bermasalah Sejak Awal: Saya Terima Sudah Busuk Itu Barang
Ini Respons Purbaya soal Pernyataan Zulhas Larang Otak-atik Dana MBG
Breaking News! APBN Tekor Rp371,5 Triliun hingga September 2025
Tak Mau Tanggung Utang, Purbaya Tegaskan KCIC Bukan Tanggung Jawab Kemenkeu