Oleh: Tri Wibowo Santoso
DI tengah krisis kepercayaan publik terhadap hukum, rakyat Pati tampil dengan kreativitas yang tak terduga: sachet tolak angin dirangkai jadi kalung, lalu dikalungkan ke wakil rakyat. Sebuah sindiran sederhana, tapi pesannya menghantam keras: lembaga hukum di negeri ini sudah masuk angin.
Kalau KPK lamban, kalau DPRD tak tegas, kalau Kejaksaan sibuk menunda, dan kepolisian menutup mata, maka rakyatlah yang akan menyembuhkan dengan satire.
Tolak angin dalam bentuk kalung itu bukan sekadar lelucon. Itu adalah bahasa politik baru. Murah, mudah dipahami, dan relevan dengan pengalaman sehari-hari semua orang Indonesia. Dan di balik humor itu, ada kemarahan yang nyata.
KPK dituding lamban dalam kasus Raja Ampat. Kejaksaan dianggap diam terlalu lama dalam urusan denda pemutihan lahan sawit yang triliunan rupiah. Polisi dituding membiarkan kasus besar mandek di tengah jalan.
Bagaimana rakyat tidak merasa hukum ini sudah benar-benar masuk angin?
Pesannya jelas, bahwa rakyat tidak lagi percaya pada janji-janji penyelidikan tanpa ujung. Mereka tidak butuh jargon, mereka butuh bukti. Kalau lembaga hukum terus lamban, jangan salahkan rakyat jika mereka berbondong-bondong mendatangi KPK, Kejaksaan, bahkan Mabes Polri. Dan jika itu terjadi, jangan berharap bisa lagi meredam dengan kata-kata.
Satire kalung sachet ini harus dibaca aparat hukum sebagai alarm keras. Bukan sekadar aksi teatrikal kampung, tapi tanda bahwa rakyat mulai mengorganisir kekecewaannya. Kita tahu, dari sejarah, aksi rakyat yang berawal dari sindiran bisa berubah menjadi gelombang besar yang mengguncang legitimasi. Seperti bola salju yang menggelinding dari bukit, makin lama makin besar dan sulit dibendung.
Aparat hukum hari ini punya dua pilihan. Pertama, segera bertindak cepat, transparan, dan tegas menuntaskan kasus-kasus besar -dari korupsi lahan sawit hingga Raja Ampat- agar rakyat kembali percaya. Atau kedua, terus membiarkan diri masuk angin, menunggu rakyat yang akan memakaikan kalung sachet di depan gedung-gedung tinggi, bukan lagi dengan satir, tapi dengan tuntutan yang lebih keras.
Kalung sachet tolak angin adalah pengingat. Bahwa di negeri ini, rakyat selalu menemukan cara untuk bersuara, meski dengan benda sesederhana obat masuk angin. Dan ketika suara itu berubah jadi gerakan besar, tidak ada lagi obat yang bisa menyembuhkan selain keadilan itu sendiri.
(Kolumnis)
Artikel Terkait
Tayangan Soal Pesantren Berbuntut Panjang, Banser NU Ancam Gorok Leher Karyawan Trans7
Viral Pernyataan Santet Halal, Pesulap Merah: Kalau Bisa Gua Kasih Rumah plus Uang Rp25 Juta per Bulan
Bikin Konten Youtube Singgung Polemik Trans7, Youtuber di Jember Digeruduk Banser
Viral Video Jokowi Tak Bisa Salam UGM, Netizen: Katanya Alumni...