Multaqomedia.com - Di bawah jembatan itu, sungai masih mengalir seperti dulu. Para penambang pasir berbahu legam. Suara aliran air masuk ke dalam telingaku, mengisahkan perjalanan kembara yang panjang dan melelahkan.
Dan seperti di dalam kedua lubuk matamu, kolam ikan yang bening. Pada halaman doa-doa, kuziarahi penyesalan. Kembang dan kupu, lagu dan rindu. Tapi sepi.
Maha derita yang baka.
Baca Juga: Puisi Gus Taufiq Wr. Hidayat, Pistol Kesepian
Di atas jembatan itu, sisa pertemuan masih biru. Dari balik jendela, bayangan memanjang. Lalu hilang. Sebelum akhirnya kembali datang. Bergantian.
Di antara kabut dan pertanyaan, entah keisengan demi keisengan. Di dalam hujan. Di dalam banjir yang menghanyutkan kulkas dan almari pakaian. Kucari namamu di antara ragu dan keluh.
Stasiun hujan.
Di rimbun diam.
Di lebat malam
Baca Juga: Puisi Rindu Telah Habis dan Lainnya, Karya Ayu Lestari
Di tempat lain, seseorang bercerita perihal percintaan di antara pohon-pohon yang mengering pada musim kemarau, jalan panjang yang bersih.
Umur berabad-abad, harapnya. Ah hati manusia, katanya. Melawan usia. Namun selalu dikalahkan kehilangan. Dan pergantian.
Dalam hutan waktu, sungai-sungai mengalir pelan, menghanyutkan pertanyaan-pertanyaan musim yang datang bersama semangka dan derita.
Tebing gelisah dan duka lara. Hujan menjelma kenangan. Segala air mata tak lagi bisa disamarkan. Seseorang tiba pada suatu hari yang entah.
Baca Juga: Puisi Esai Di Balik Lipatan Waktu, Dalam Lipatan Perut Yogyakarta
Di bawah rindang sebatang pohon mangga, mengingat sebab tanpa alamat. Hingga tiba senja hari. Kemudian petang membawanya pergi.