Evaluasi Kader Jalan Menyelamatkan NasDem

- Senin, 01 September 2025 | 03:40 WIB
Evaluasi Kader Jalan Menyelamatkan NasDem

Konteks nasional memperlihatkan bahwa problem dana politik dari sektor sawit bukanlah fiksi. Tempo edisi 2 Maret 2025 menurunkan laporan berjudul “Main Mata Denda Sawit”, mengungkap penyidikan Kejaksaan Agung atas dugaan permainan dalam penetapan denda perkebunan sawit di kawasan hutan. 


Petinggi Kementerian Kehutanan disebut menyunat potensi penerimaan negara Rp 300 triliun hingga tinggal miliaran. Laporan itu menunjukkan betapa rapuhnya batas antara kepentingan oligarki, pejabat negara, dan dunia politik. Jika persoalan sebesar ini bisa menjerat kementerian, publik wajar mencurigai bahwa partai politik pun bisa terseret dalam jejaring serupa.


Karena itu, NasDem tidak boleh sekadar reaktif. Penonaktifan Sahroni dan Nafa adalah langkah penyelamatan jangka pendek. Untuk jangka panjang, partai harus membangun sistem evaluasi yang menyeluruh. Audit integritas seluruh kader DPR, transparansi laporan konflik kepentingan, dan keberanian mengambil sikap tegas terhadap nama-nama yang kini menjadi sorotan, adalah bentuk tanggung jawab partai terhadap rakyat.


Publik hari ini tidak lagi sabar dengan klarifikasi normatif. Publik menuntut bukti nyata bahwa partai lebih memilih menjaga kepercayaan rakyat ketimbang melindungi kader bermasalah. Jika NasDem mampu membuktikan itu, citra sebagai partai perubahan bisa kembali hidup. Jika tidak, rakyat sendiri yang akan menjatuhkan vonis di bilik suara 2029.


Tulisan ini bukan serangan, melainkan dorongan konstruktif. NasDem memiliki peluang besar untuk membuktikan diri sebagai partai yang berani berbeda, partai yang memutus rantai kompromi dengan oligarki dan kepentingan sesaat, partai yang benar-benar menempatkan rakyat di atas kepentingan pribadi kadernya. 


Namun peluang itu hanya bisa dipertahankan jika keberanian yang ditunjukkan pada kasus Sahroni dan Nafa dilanjutkan kepada kasus-kasus lain yang kini mencoreng nama partai.


Jika partai memilih diam, publik akan bersuara lebih keras. Dan dalam sejarah demokrasi, suara rakyat yang kecewa selalu lebih nyaring daripada megafon partai manapun.


Tri Wibowo Santoso

Kolumnis


Halaman:

Komentar