MULTAQOMEDIA.COM - Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu turut menyoroti keras keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada komisioner KPU, yang dinilai terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Said Didu tidak melihat pada pelanggaran yang dilakukan komisioner tersebut, tapi lebih pada besarnya uang rakyat yang dihabiskan komisioner tersebut yang berujung pada pelanggaran kode etik.
"Menghabiskan uang rakyat puluhan miliar - hanya diberikan teguran. Kalian waras?," tandas Said Didu yang ditujukan kepada DKPP dengan penuh tanya, dilansir Minggu (26/10).
Sebelumnya, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Muhammad Afifuddin, empat anggota KPU, serta Sekretaris Jenderal KPU. Mereka dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam pengadaan sewa private jet.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Teradu I Muhammad Afifuddin selaku Ketua merangkap anggota KPU; Teradu II Idham Holik; Teradu III Yulianto Sudrajat; Teradu IV Parsadaan Harahap; dan Teradu V August Mellaz, masing-masing selaku anggota Komisi Pemilihan Umum terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua DKPP, Heddy Lugito membacakan putusan di Gedung DKPP, Jakarta, Selasa (21/10).
Selain itu, DKPP juga menjatuhkan sanksi serupa kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Teradu VII Bernad Darmawan Sutrisno selaku Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum terhitung sejak putusan ini dibacakan,” sambungnya.
Sementara itu, dalam putusan yang sama, DKPP merehabilitasi nama baik Betty Epsilon Idroos, salah satu anggota KPU yang sempat turut diadukan dalam perkara ini. DKPP menilai Betty tidak terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
“Merehabilitasi nama baik Teradu VI Betty Epsilon Idroos selaku anggota Komisi Pemilihan Umum terhitung sejak putusan ini dibacakan,” tegasnya.
Perkara ini diadukan oleh Sri Afrianis dan Dudy Agung Trisna. Kuasa hukum pemohon, Ibnu Syamsu Hidayat, menyatakan putusan DKPP ini masih jauh dari prinsip penegakan etik yang seharusnya ditegakkan secara tegas dan berkeadilan.
Menurutnya, sanksi berupa peringatan keras tidak mencerminkan bobot pelanggaran yang bersifat serius dan berimplikasi langsung terhadap kepercayaan publik pada integritas penyelenggara pemilu.
"Penggunaan fasilitas mewah dengan anggaran publik oleh pejabat penyelenggara pemilu bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan indikasi kemunduran etika institusional. Dalam konteks tanggung jawab publik, tindakan demikian semestinya dijatuhi sanksi berat, bahkan pemecatan dari jabatan komisioner, untuk memastikan adanya efek jera dan pemulihan marwah KPU RI," tegasnya.
KPU sebagai pengelola mandat rakyat seharusnya menjadi teladan dalam menerapkan prinsip kesederhanaan, efisiensi, dan tanggung jawab publik.
"Ketika lembaga penyelenggara justru terlibat dalam praktik yang berpotensi menyalahi asas tersebut, maka DKPP perlu menegakkan standar etik tertinggi, bukan berhenti pada teguran administratif," tuturnya.
Ia menilai, putusan DKPP hari ini mencerminkan langkah setengah hati dalam menegakkan akuntabilitas moral penyelenggara pemilu. Keputusan yang hanya bersifat peringatan berisiko menumbuhkan persepsi publik bahwa pelanggaran etika dapat diselesaikan tanpa konsekuensi berarti.
"Namun demikian, kami menghormati Putusan DKPP ini, dan kedepan DKPP mampu memastikan bahwa setiap pelanggaran serius terhadap integritas penyelenggara pemilu ditindak secara proporsional. Penegakan etika yang lemah akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia," pungkasnya.
Sumber: fajar
Artikel Terkait
Purbaya Jawab Menohok Kritik Hasan Nasbi: Stabilitas Pemerintah Amat Baik di Mata Masyarakat, Kecuali di Mata Orang Itu
Menkeu Purbaya Sikat Importir Thrifting Ilegal: Yang Nolak Saya Tangkap Duluan
Pengaruh Jokowi dalam Pemerintahan Prabowo Ancaman Serius Demokrasi
Sebut Banyak yang Ramai di Akhir Cerita, Dasco Sindir Siapa?