Masjid Terkunci, Matinya Keimanan dan Kemanusiaan

- Kamis, 06 November 2025 | 00:50 WIB
Masjid Terkunci, Matinya Keimanan dan Kemanusiaan


Kadang-kadang ada anak-anak muda yang ingin beriktikaf dilarang masuk. Musafir yang hendak beristirahat diusir. Orang miskin tak berani datang kecuali di waktu salat. 


Seolah-olah, masjid hanya milik “kaum tertentu,” para tokoh, insan yang "terlihat saleh," dan pengurus yang merasa berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh mendekat. 


Padahal, kebanyakan uang pembangunan masjid berasal dari urunan umat, dari keringat pedagang kecil, tangan kasar petani, jerih payah otot betis tukang becak, dan donatur yang berharap masjid menjadi tempat yang hidup dan menenangkan. Oh ya, hampir lupa, mungkin ada juga uang pemberian Pak Ustaz dan Gus. 


Tapi ironinya, setelah masjid berdiri megah, bangunan itu berubah menjadi simbol eksklusivitas, bukan rumah Tuhan yang terbuka, melainkan simbol gengsi sosial, yang membatasi siapa boleh datang dan siapa tidak. 


Masjid Ruang Kontemplasi Semua Kalangan, Pengurus dan Jemaah 


Masjid seharusnya menjadi taman pertumbuhan peradaban dan kesejukan jiwa, bukan sekadar bangunan megah yang hampa makna. Tugas utama pengurus masjid bukan hanya menjaga kebersihan lantai atau jadwal imam, tetapi menjaga kemanusiaan dan kasih sayang yang hidup di dalamnya. 


Seorang musafir yang tidur di teras masjid tidak akan mencoreng kehormatan rumah Allah. Justru ia sedang mengingatkan kembali akan hakikat masjid sebagai tempat singgah bagi siapa saja yang ingin dekat kembali kepada Tuhan di tengah penatnya hidup. 


Menjaga ketertiban itu penting, iya. Tapi menjaga dengan akal sehat dan hati yang lembut, bukan dengan tangan yang kasar. Karena yang perlu diamankan bukan hanya marmer masjid, tapi akhlak umat di dalamnya. 


Masjid Potret Akhlak Umat 


Masjid adalah potret dari kondisi umat. Kalau masjidnya hangat dan ramah, berarti masyrakatnya penuh kasih. Tapi jika masjidnya berubah menjadi tempat yang menyebabkan orang takut singgah, maka yang mati bukan hanya Arjuna Tamaraya, melainkan ada nilai keimanan dan kemanusiaan yang tidak baik-baik saja terjadi di sekitar.


Tragedi di Sibolga seharusnya menggugah setiap pengurus masjid, tokoh agama, dan jamaah untuk kembali menelusuri makna sejati masjid dalam sejarah Islam. Masjid bukan benteng, bukan tempat membedakan siapa suci dan siapa kotor, tapi rumah bagi setiap hati yang mencari ketenangan dan kemurnian.


Menghadirkan Kembali Roh Masjid 


Sekarang teknologi makin canggih, hiburan makin banyak, dan orang makin sibuk. kalau bioskop dan tempat hiburan bisa membuat orang rela mengantre, mengapa masjid tak bisa membuat orang candu dan rindu datang ke sana?


Menandingi kenyataan itu, masjid perlu beradaptasi dengan zaman: ramah anak muda, terbuka buat musafir, nyaman buat lansia, dan aman buat siapa pun yang datang. Sudah saatnya bisa menghadirkan kembali ruh masjid seperti di jaman Rasulullah, tempat yang terbuka, ramah, dan penuh cinta. 


Kalau suatu hari nanti ada orang yang kelelahan dan tertidur di teras masjid, semoga bukan lagi pentungan, tinju, dan tendangan yang menyambutnya,  melainkan senyum tulus dan segelas air hangat. Karena di situlah keindahan Islam yang sesungguhnya, rahmatan lil ‘alamin -- rahmat bagi seluruh alam.



(Wartawan RMOLJatim )


Halaman:

Komentar